Aktivitas vulkanis dari gunung api merupakan salah satu bentuk bencana alam kebumian yang menyertai kehidupan manusia. Contoh aktivitas vulkanis yang menimbulkan bencana yaitu erupsi material vulkanik, leleran lahar, semburan awan panas, semburan gas beracun, dan lain-lain. Telah banyak catatan mengenai bencana alam gunung api yang juga disertai dengan dampak negatif yang ditimbulkannya terhadap manusia. Oleh karena itu, pemantauan aktivitas gunung api merupakan bagian penting dari upaya mitigasi bencana.

Di Indonesia, terdapat gunung api yang jumlahnya relatif cukup banyak. Sehingga bahaya dari letusannya harus mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah maupun dari masyarakat. Dengan jumlah penduduk sekitar 200 juta, tidak dapat dipungkiri bahwa bahaya letusan gunung api adalah sesuatu yang nyata bagi rakyat Indonesia.
Oleh sebab itu, pemantauan aktivitas gunung api di Indonesia haruslah selalu dilaksanakan secara maksimal dan terus menerus. Sampai saat ini, Indonesia telah melakukan berbagai metode untuk pemantauan gunung api, seperti pemantauan visual, pemantauan lahar, pemantauan deformasi, dan sebagainya. Metode-metode ini melibatkan sensor tersendiri yang dapat diimplementasikan secara kontinyu maupun episodik.
Metode deformasi cukup banyak diaplikasikan dalam pemantauan gunung api sebab metode ini dianggap memiliki potensi yang sangat besar untuk berkontribusi dalam pemantauan aktivitas gunung api. Pemantauan aktivitas gunung api melalui metode deformasi dapat diketahui melalui proses monitoring inflasi (penaikan permukaan tanah) dan deflasi (penurunan permukaan tanah) akibat perubahan tekanan dari dalam tubuh gunung api (Wismaya, 2016).
Deformasi yang berupa inflasi umumnya terjadi karena proses gerakan magma ke permukaan yang menekan permukaan tanah di atasnya. Dalam hal ini, deformasi yang maksimal biasanya teramati tidak lama sebelum letusan gunung api berlangsung. Sedangkan, deformasi berupa deflasi umumnya terjadi selama atau sesudah masa letusan. Pada saat itu terjadi, tekanan magma di dalam tubuh gunung api melemah sehingga permukaan tanah cenderung kembali ke posisinya semula. Gejala deformasi gunung api akan menyebabkan pergeseran posisi suatu titik di tubuh gunung api. Pergeseran posisi tersebut dapat terjadi baik dalam arah horizontal maupun vertikal.

GPS merupakan teknik yang sangat cocok untuk monitoring deformasi yang disebabkan oleh pergerakan tektonik, ground subsidence, dan aktivitas vulkanik (Sari, 2019). GPS adalah suatu sistem navigasi berbasis satelit yang dikembangkan oleh USA Department of Defense (DoD) atau Departemen Pertahanan Amerika Serikat untuk memenuhi kebutuhan sipil maupun militer dalam bidang navigasi dan penentuan posisi tiga dimensi secara cepat dan akurat (Zahrudin, 2018).
Nama formal dari sistem satelit militer ini adalah NAVSTAR GPS, kependekan dari NAVigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System. Sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca ini, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti, serta informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh dunia.
Pemantauan deformasi gunung api dengan menggunakan survei GPS pada prinsipnya dapat dilakukan secara kontinyu maupun episodik. Prinsip pemantauan deformasi secara kontinyu yaitu pemantauan terhadap perubahan koordinat beberapa titik yang mewakili sebuah gunung api dari waktu ke waktu. Metode ini menggunakan beberapa alat penerima sinyal (receiver) GPS yang ditempatkan pada beberapa titik pantau di punggung dan puncak gunung api, serta pada suatu pusat pemantau (stasiun referensi) yang merupakan pusat pemroses data. Pusat pemantau adalah suatu lokasi yang telah diketahui koordinatnya, dan sebaiknya ditempatkan di kota yang terdekat dengan gunung api yang bersangkutan (misalnya di pos pengamatan gunung api).
Koordinat titik-titik pantau tersebut kemudian ditentukan secara teliti dengan GPS, relatif terhadap pusat pemantau, dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial secara real-time. Untuk itu, data pengamatan GPS dari titik-titik pantau harus dikirimkan secara real-time ke pusat pemantau untuk diproses bersama-sama dengan data pengamatan GPS dari pusat pemantau. Pengiriman data ini dapat dilakukan dengan menggunakan bantuan satelit komunikasi ataupun telemetri dengan gelombang radio.

Dalam proses pemantauan aktivitas (geometrik) gunung api dengan GPS, jika jarak antara dua titik pantau yang diletakkan pada sisi gunung api semakin melebar dari waktu ke waktu secara sistematis, atau beda tinggi antara titik-titik pantau dengan pusat pemantau makin membesar secara kontinyu, maka kita harus waspada karena kemungkinan gunung yang
bersangkutan akan meletus. Perlu ditekankan di sini bahwa untuk mendapatkan suatu kesimpulan yang lebih komprehensif tentang aktivitas gunung api tersebut, informasi geometrik yang diberikan oleh GPS sebaiknya diintegrasikan dengan informasi-informasi vulkanologis.
Sementara itu, pemantauan secara episodik adalah pemantauan GPS terhadap titik-titik pantau secara berkala. Perbedaannya dengan pemantauan secara kontinyu adalah pemantauannya dilakukan pada periode tertentu dengan metode pengukuran secara statik. Prinsip dari pemantauan aktivitas gunung berapi dengan metode survei GPS pada dasarnya relatif mudah, yaitu pemantauan terhadap perubahan koordinat dari beberapa titik yang mewakili gunung tersebut secara periodik.
Pada metode ini, peneliti menempatkan beberapa alat penerima sinyal (receiver) GPS pada titik-titik pantau di punggung dan puncak gunung yang dipantau, serta pada sebuah stasiun referensi yang berfungsi sebagai titik stabil. Peneliti kemudian menentukan koordinat titik-titik pantau tersebut secara teliti dengan GPS menggunakan metode penentuan posisi diferensial berbasis data pengamatan fase. Selanjutnya, peneliti mempelajari perubahan koordinat titik-titik pantau tersebut, baik terhadap stasiun referensi maupun di antara sesama titik pantau secara periodik, sehingga karakteristik deformasi dan magmatik gunung berapi yang bersangkutan dapat dianalisis.
Beberapa keunggulan dalam menggunakan metode survei GPS untuk deformasi gunung api yaitu antara lain:
- GPS dapat mencakup suatu kawasan yang relatif luas tanpa memerlukan saling keterlihatan antar titik-titik pengamatan. Dengan karakteristik seperti ini, GPS dapat memantau sekaligus beberapa gunung api yang berdekatan.
- GPS memberikan nilai vektor koordinat serta pergerakan titik (dari minimum dua kala pengamatan) dalam tiga dimensi (dua komponen horizontal dan satu komponen vertikal), sehingga dapat menghasilkan informasi deformasi yang lebih baik dibandingkan metode-metode terestris yang umumnya memberikan informasi deformasi dalam satu atau dua dimensi.
- GPS memberikan nilai vektor pergerakan titik dalam suatu sistem koordinat referensi yang tunggal dan stabil baik secara spasial maupun temporal. Dengan itu, GPS dapat digunakan untuk memantau deformasi gunung atau gunung-gunung api dalam kawasan yang luas secara konsisten dari waktu ke waktu.
- GPS dapat memberikan nilai vektor pergerakan dengan tingkat presisi sampai milimeter, dengan konsistensi yang tinggi baik secara spasial maupun temporal. Dengan tingkat presisi yang tinggi dan konsisten, diharapkan besarnya pergerakan titik yang kecil sekalipun akan dapat terdeteksi dengan baik.
- GPS dapat dimanfaatkan secara kontinyu tanpa tergantung waktu (siang maupun malam) dan dalam segala kondisi cuaca. Dengan keunggulan ini, surveyor dapat melaksanakan survei GPS untuk studi deformasi gunung api secara efektif dan fleksibel.
Gimana sobat? Kalian jadi tau kan ternyata GPS juga mampu memantau aktivitas gunung api. Semoga artikel ini bermanfaat buat kalian ya. Jangan lupa baca artikel Hi-target Indonesia lainnya ya.
Penulis: Dhuta Samudra Ruliyalhaq
Referensi:
- Sari, Indri E. (2019). Pemanfaatan Teknologi GNSS untuk Pemantauan Deformasi Gunung Api. Bandung: Universitas Winaya Mukti.
- Wismaya, Yuandhika Galih., Ira Mutiara Anjasmara, dan Sulistiyani. (2016). Analisis Deformasi Gunung Merapi Berdasarkan Data Pengamatan GPS Februari-Juli 2015. Jurnal Teknik ITS. 5 (2). 2337-3539 (2301-9271 Print).
- Zahrudin, Muhamad., Sunaryo D.K., dan Mabrur, Adkha Y. (2018). Pengolahan Data GPS Geodetik Untuk Analisis Deformasi Erupsi Gunung Agung-Bali. Malang: Institut Teknologi Nasional Malang.