Pemanfaatan GPS RTK di perkebunan kelapa sawit menjadi opsi yang cukup menjanjikan karena memiliki kemampuan yang mencakup area yang luas dan dapat. Yuk langsung simak lebih lengkap nya dibawah ini!
Kelapa sawit (Elaeis guineensis) bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman ini berasal dari Afrika Barat dan Tengah. Sejarah kelapa sawit di Indonesia dimulai dengan empat bibit kelapa sawit yang dikumpulkan oleh Dr. D. T. Price, masing-masing 2 benih dari Bourbon, Mauritius dan 2 benih dari Botanical Gardens, Amsterdam, Belanda. 1848.
Empat bibit kelapa sawit kemudian ditanam di Kebun Raya Bogor yang dikelola Johanes Elyas Teysman dan dibiarkan tumbuh subur. Di Kevong Raya Bogor, kelapa sawit tumbuh setinggi 12 meter dan merupakan yang tertua di Asia Tenggara. Namun, pada 15 Oktober 1989, ibunda Kelapa Sawit meninggal dunia.
Baca Juga: Hi Target Indonesia di SEASC 2022
Pada tahun 1853, lima tahun setelah tanam, kelapa sawit Kevon Raya Bogor berbuah. Setelah itu, benih kelapa sawit dibagikan secara gratis dan diangkut ke Pulau Sumatera pada tahun 1875, di mana mereka digunakan sebagai pohon hias pinggir jalan.
Anehnya, baru ditemukan pada tahun 1870-an bahwa kelapa sawit mekar di Deli, Sumatera Utara, sehingga benih-benih kelapa sawit di daerah itu dikenal sebagai kelapa sawit ‘Deli Dura’.
Dalam perkembangannya, perkebunan kelapa sawit tidak dapat dipisahkan dari dunia surveying dan pemetaan. Mulai dari perencanaan hingga management aset kebun perlu dikelola dalam data spasial.
Belakangan ini teknologi survey terbaru yang sering digunakan adalah GNSS RTK. Dunia perkebunan kelapa sawit juga memanfaatkan teknologi ini dalam berbagi macam pekerjaan.

Seperti pada sektor agronimi pada lainnya, dunia perkebunan kelapa sawit memerlukan pengelolaan air dengan baik. Hal ini ditujukan agar tanaman sawit tidak kekeringan ketika kemarau serta tidak banjir ketika musim hujan tiba.
Dalam pengelolaan air ini, diperlukan data topografi untuk dapat mengetahui arah aliran air sehingga dapat dilakukan pengelolaan serta rekayasa jika diperlukan.
Pengukuran topografi ini dilakukan pada seluruh area kebun yang luasnya bisa mencapai ribuan hektar. Dengan memanfaatkan teknologi GNSS RTK, maka dapat mempercepat proses pengambilan data topografi.
Selain itu, berdasarkan RSPO setiap kebun harus memiliki titik-titik batas IUP yang ditandai dengan adanya patok HGU sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pada awal pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, perlu dilakukan pematokan batas usaha terlebih dahulu. Hal ini ditujukan supaya dalam pembangunan infrastruktur kebun tidak keluar dari batas usaha yang diizinkan.

Penentuan titik-titik HGU dilakukan dengan metode stake point. Dengan luas area yang mencapai ribuan hektar, penggunaan alat optik seperti theodolite dan total station tidak dapat bekerja dengan optimal mengingat area pembukaan lahan biasanya berupa hutan yang memiliki banyak objek penghalang.
Dengan menggunakan GNSS RTK, stake point pada titik-titik HGU dapat dilakukan dengan lebih mudah, selama base dan rover saling terhubung. Konektifitas dari RTK juga dapat menggunakan system radio dimana system ini tidak terpengaruh adanya objek penghalang. Selain itu penggunaan GNSS RTK yang memberikan keletitian hingga satuan cm sangat tepat jika digunakan untuk melakukan pematokan batas konsesi atau batas usaha.
Pada pengembangan yang lebih modern di beberapa negara maju, GNSS RTK juga dipasang pada tractor untuk melakukan spraying secara otomatis. Spraying otomatis digunakan untuk menggantikan tenaga manusia yang kurang efektif dan memiliki banyak keterbatasan. GNSS RTK ini digunakan sebagai system navigasi sehingga traktor dapat bergerak sesuai dengan jalur yang dibuat.
Sumber foto: freepik